PORSENI PGSD UNTAN

PORSENI PGSD UNTAN

Kamis, 26 Juni 2014

Pengaruh Pendidikan Karekter Terhadap Bahaya Korupsi

Pengaruh Pendidikan Karakter Terhadap Budaya korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Subekti dan Tjitrosoedibio : 1973). Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).

 
B. Dampak Korupsi Dalam Pendidikan
Terdapat kesulitan untuk menilai praktek koriipsi mana yang memiliki pengaruh paling merusak terhadap pendidikan, dan dengan demikian juga mempertegas praktek mana yang hendaknya dituju sebagài prioritas dalam suatu upaya antikorupsi. Bagaimanapun, isu-isu di bawah ini hendaknya menjadi perhatian bersama:
1. Merosotnya kualitas pendidikan.
Merosotnya kualitas pendidikan ditandai dengan tidak adanya atau rendahnya perlengkapan yang berkualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah, dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang terpilih (atau membeli posisi) untuk guru atau jabatan lainnya. Meskipun disadari bahwa pendi­dikan adalah sebuah sarana yang penting untuk pemba­ngunan ekonomi dan perbaikan standar penghidupan, khususnya di negara-negara berkembang, tetapi terda­pat pengakuan umum bahwa kesadaran ini jarang tereja­wantah, sehingga korupsi dalam sistem-sistem pendi­dikan telah merusak kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang dapat diraih oleh sebuah negara un­tuk memiliki self-sustainability (keberlanjutan diri sendiri/ Selain itu, rendahnya kualitas dalam sistem pendidikan dari suatu negara dapat menyebabkan generasi mudanya mencari peluang pendidikan yang lebih baik di negara lain.
2. Kerugian finansial.
Pendidikan di banyak negara mewakili suatu kom­ponen pengeluaran publik yang sangat besar, bahkan terbesar pertama atau kedua. Sebuah survey di Kenya memperkirakan bahwa Departemen Pendidikan kehilangan sebanyak kira-kira 480 juta dolar US akibat korupsi, kecorobohan, dan pemborosan selama tahun 1994-2001. Di awal abad kedua puluh satu, pengeluaran publik global untuk pendidikan mencapai satu triliun dolar US. Ukuran anggaran pendidikan yang sangat be­sar dan jumlah aktor yang terlibat dalam aktivitas- aktivitas pendidikan adalah faktor-faktor penting yang menjadi alasan yang sangat merisaukan kita semua.
3. Ketidakadilan sosial.
Korupsi adalah hukuman bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin yang kurang mampu mengenyam pendidikan (yang korup). Dengan demikian, pendi­dikan memihak kepada kelompok-kelompok masya­rakat kaya. Pengurangan pengeluaran pendidikan pu­blik akan memperendah potensi pertumbuhan sebuah negara melalui penurunan pembangunan modal insani, dan dengan demikian memperburuk ketidakadilan penghasilan. Kekacauan sosial adalah agenda dari masyarakat-masyarakat yang lebih mendasarkan kemajuan atas uang daripada nilai yang sebenarnya.
4. Pengurangan tingkat partisipasi.
Pengurangan tingkat partisipasi mengimplikasikan semakin sedikitnya sekolah yang dibangun dan dipelihara. Hal ini mengakibatkan kurangnya angkatan kerja yang terdidik serta menyebabkan lambat dan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi. Be­sarnya jumlah penduduk yang tidak terdidik menjadi sebuah penghambat untuk investasi. Selain itu, demokrasi tidak dapat dibangun secara baik dan tidak mendapat tempat yang bagus untuk tumbuh.
5. Hilangnya akhlak mulia.
Ketidak jujuran dan korupsi mendapat penghargaan. Generasi muda mengembangkan sikap sinis dan antipati. Kekuasaan berdasarkan hukum (ruJe of law) dapat terpengaruh dan menjadi sebuah ancaman yang besar bagi investasi. Hal ini dapat menimbulkan keti­dakpercayaan terhadap pemerintah dan rendahnya partisipasi dalam sistem politik, serta mengganggu demokrasi.
6. Skala permasalahan.
Dampak korupsi menjangkau lebih jauh dan meli­batkan lebih-banyak aktor. Sektor pendidikan adalah sektor publik tempat banyak orang mengalami kontak sosial. Konsekuensi korupsi menjangkau tidak hanya pengguna akhir dari sistem pendidikan, yaitu murid dan mahasiswa, tetapi dampak negatifnya juga mem­pengaruhi para orang tua, guru, dan para administra­tor dari lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hal banyaknya jumlah orang yang dipengaruhi oleh keru­sakan korupsi, pendidikan barangkali merupakan yang terburuk
C.Arti Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
Menurut Akhmad Sudrajat, supaya kita lebih mudah memahami makna pendidikan karakter, kita mesti mengerti makna dari karakter itu sendiri terle­bih dahulu. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepri­badian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Lain halnya dengan pendapat Tadzkiroatun Musfiroh (2008). Menurutnya, karakter mengacu pada se rangkaian sikap {attitudes), perilaku {behaviors), motivasi (;motivations), dan keterampilan {skills). Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.
Seseorang dianggap memiliki karakter mulia apabila ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang potensi dirinya serta mampu mewujudkan potensi itu dalam sikap dan tingkah lakunya. Adapun ciri yang dapat dicermati pada seseorang yang mampu memanfaatkan potensi dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap terpuji, seperti penuh reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif-inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, berani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai waktu, penuh pengabdian, dedikatif, mampu mengendalikan diri, produktif, ramah, cinta keindah­an, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.
Seseorang yang memiliki karakter positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Dengan demikian, karakter atau karakteristik adalah realisasi kembangan positif dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku.
Menurut David Elkind dan Freddy Sweet, Ph.D. (2004), yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Dalam hal ini, guru membantu membentuk watak peserta didik agar senantiasa positif. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan caranya berperilaku, berbicara, ataupun menyampaikan materi, bertoleransi, serta berbagai hal terkait lainnya.
Adapun T. Ramli (2003) menyatakan bahwasanya pendidikan karakter memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral atau akhlak. Dalam penerapan pendidikan karakter, faktor yang harus dijadikan sebagai tujuan adalah terbentuknya kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik, dan hal itu sama sekali tidak terikat dengan angka dan nilai. Dengan demikian, dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ialah pendidikan nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia.
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada peserta didik, yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaan-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerja sama, percaya diri, kreatif, mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sifat kepemimpinan; baik, rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain, dalam upaya menerapkan pendidikan karakter, guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekadar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai- nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter dasar tersebut, yang selanjutnya dikembang­kan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolut atau relatif), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Akhmad Sudrajat, saat ini, tidak sedikit pihak yang menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan itu sangat beralasan dan dilatarbelakangi oleh fenomena meningkat­nya kenakalan remaja dalam masyarakat dan kasus-kasus dekadensi moral lainnya. Di kota- kota besar, fenomena dekadensi moral yang melanda para remaja sudah sedemikian pa­rahnya, sehingga banyak pihak yang meminta agar lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda mampu meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian dan karakter.
D. Bentuk-Bentuk Pendidikan Karakter
Ada beberapa bentuk pendidikan karakter yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik sejak dini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
A. Jujur
B. Disiplin
C. Percaya Diri
D. Peduli
E. Mandiri
F. Gigih
G. Tegas
H. Bertanggung Jawab
I. Kreatif
J. Bersikap Kritis
E. Tujuan Pendidikan Karakter
A. Versi Pemerintah
1. Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral
2. Membentuk Manusia Indonesia yang Cerdas dan Rasional
3. Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras
4. Membentu Manusia Indonesia yang Optimis dan Percaya Diri
5. Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa Patriot
B. Versi Pengamat
Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pen­didikan karakter bertu­juan membentuk masya­rakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berto- leran, bergotong royong, berjiwa patriotik, ber­kembang dinamis, serta berorientasi ilmu penge­tahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar