Pengaruh Pendidikan Karakter Terhadap Budaya korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Istilah korupsi yang telah diterima
dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian
lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah
sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut
perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan
keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah
korupsi, perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang
merugikan keuangan negara (Subekti dan Tjitrosoedibio : 1973). Selanjutnya
Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah
korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang
berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).
B. Dampak Korupsi Dalam Pendidikan
Terdapat kesulitan untuk menilai
praktek koriipsi mana yang memiliki pengaruh paling merusak terhadap
pendidikan, dan dengan demikian juga mempertegas praktek mana yang
hendaknya dituju sebagài prioritas dalam suatu upaya antikorupsi.
Bagaimanapun, isu-isu di bawah ini hendaknya menjadi perhatian bersama:
1. Merosotnya kualitas pendidikan.
Merosotnya kualitas pendidikan
ditandai dengan tidak adanya atau rendahnya perlengkapan yang
berkualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah, dan adanya kandidat
yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang terpilih (atau
membeli posisi) untuk guru atau jabatan lainnya. Meskipun disadari bahwa
pendidikan adalah sebuah sarana yang penting untuk pembangunan
ekonomi dan perbaikan standar penghidupan, khususnya di negara-negara
berkembang, tetapi terdapat pengakuan umum bahwa kesadaran ini jarang
terejawantah, sehingga korupsi dalam sistem-sistem pendidikan telah
merusak kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang dapat diraih oleh
sebuah negara untuk memiliki self-sustainability
(keberlanjutan diri sendiri/ Selain itu, rendahnya kualitas dalam sistem
pendidikan dari suatu negara dapat menyebabkan generasi mudanya mencari
peluang pendidikan yang lebih baik di negara lain.
2. Kerugian finansial.
Pendidikan di banyak negara
mewakili suatu komponen pengeluaran publik yang sangat besar, bahkan
terbesar pertama atau kedua. Sebuah survey di Kenya memperkirakan bahwa
Departemen Pendidikan kehilangan sebanyak kira-kira 480 juta dolar US
akibat korupsi, kecorobohan, dan pemborosan selama tahun 1994-2001. Di
awal abad kedua puluh satu, pengeluaran publik global untuk pendidikan
mencapai satu triliun dolar US. Ukuran anggaran pendidikan yang sangat
besar dan jumlah aktor yang terlibat dalam aktivitas- aktivitas
pendidikan adalah faktor-faktor penting yang menjadi alasan yang sangat
merisaukan kita semua.
3. Ketidakadilan sosial.
Korupsi adalah hukuman bagi
kelompok-kelompok masyarakat miskin yang kurang mampu mengenyam
pendidikan (yang korup). Dengan demikian, pendidikan memihak kepada
kelompok-kelompok masyarakat kaya. Pengurangan pengeluaran pendidikan
publik akan memperendah potensi pertumbuhan sebuah negara melalui
penurunan pembangunan modal insani, dan dengan demikian memperburuk
ketidakadilan penghasilan. Kekacauan sosial adalah agenda dari
masyarakat-masyarakat yang lebih mendasarkan kemajuan atas uang daripada
nilai yang sebenarnya.
4. Pengurangan tingkat partisipasi.
Pengurangan tingkat partisipasi
mengimplikasikan semakin sedikitnya sekolah yang dibangun dan
dipelihara. Hal ini mengakibatkan kurangnya angkatan kerja yang terdidik
serta menyebabkan lambat dan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Besarnya jumlah penduduk yang tidak terdidik menjadi sebuah penghambat
untuk investasi. Selain itu, demokrasi tidak dapat dibangun secara baik
dan tidak mendapat tempat yang bagus untuk tumbuh.
5. Hilangnya akhlak mulia.
Ketidak jujuran dan korupsi
mendapat penghargaan. Generasi muda mengembangkan sikap sinis dan
antipati. Kekuasaan berdasarkan hukum (ruJe of law) dapat
terpengaruh dan menjadi sebuah ancaman yang besar bagi investasi. Hal
ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan
rendahnya partisipasi dalam sistem politik, serta mengganggu demokrasi.
6. Skala permasalahan.
Dampak korupsi menjangkau lebih
jauh dan melibatkan lebih-banyak aktor. Sektor pendidikan adalah sektor
publik tempat banyak orang mengalami kontak sosial. Konsekuensi korupsi
menjangkau tidak hanya pengguna akhir dari sistem pendidikan, yaitu
murid dan mahasiswa, tetapi dampak negatifnya juga
mempengaruhi para orang tua, guru, dan para administrator dari
lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hal banyaknya jumlah orang yang
dipengaruhi oleh kerusakan korupsi, pendidikan barangkali merupakan
yang terburuk
C.Arti Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah sebuah
sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang
mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya
kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun
bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
Menurut Akhmad Sudrajat, supaya
kita lebih mudah memahami makna pendidikan karakter, kita mesti mengerti
makna dari karakter itu sendiri terlebih dahulu. Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan
watak. Sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Lain
halnya dengan pendapat Tadzkiroatun Musfiroh (2008). Menurutnya,
karakter mengacu pada se rangkaian sikap {attitudes), perilaku {behaviors), motivasi (;motivations), dan keterampilan {skills). Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”
atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam,
rakus, dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral dinamakan
berkarakter mulia.
Seseorang dianggap memiliki
karakter mulia apabila ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
potensi dirinya serta mampu mewujudkan potensi itu dalam sikap dan
tingkah lakunya. Adapun ciri yang dapat dicermati pada seseorang yang
mampu memanfaatkan potensi dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap
terpuji, seperti penuh reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis,
analitis, kreatif-inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab,
cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, berani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih,
teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien,
menghargai waktu, penuh pengabdian, dedikatif, mampu mengendalikan diri,
produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan
tertib.
Seseorang yang memiliki karakter
positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik
atau unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya
tersebut. Dengan demikian, karakter atau karakteristik adalah realisasi
kembangan positif dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan
perilaku.
Menurut David Elkind dan Freddy
Sweet, Ph.D. (2004), yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah
segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Dalam hal ini, guru membantu membentuk watak
peserta didik agar senantiasa positif. Oleh karena itu, guru harus
memperhatikan caranya berperilaku, berbicara, ataupun menyampaikan
materi, bertoleransi, serta berbagai hal terkait lainnya.
Adapun T. Ramli (2003) menyatakan
bahwasanya pendidikan karakter memiliki esensi yang sama dengan
pendidikan moral atau akhlak. Dalam penerapan pendidikan karakter,
faktor yang harus dijadikan sebagai tujuan adalah terbentuknya
kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik, dan hal itu
sama sekali tidak terikat dengan angka dan nilai. Dengan demikian, dalam
konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ialah pendidikan
nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa
Indonesia.
Pijakan utama yang harus dijadikan
sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral
universal yang dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada beberapa
nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan
kepada peserta didik, yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
ciptaan-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang,
peduli, mampu bekerja sama, percaya diri, kreatif, mau bekerja keras,
pantang menyerah, adil, serta memiliki sifat kepemimpinan; baik, rendah
hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain,
dalam upaya menerapkan pendidikan karakter, guru harus berusaha
menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata,
bukan sekadar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan
bahwa nilai- nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta
didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun,
disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Oleh karena itu, penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai
karakter dasar tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau relatif), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Akhmad
Sudrajat, saat ini, tidak sedikit pihak yang menuntut peningkatan
intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga
pendidikan formal. Tuntutan itu sangat beralasan dan dilatarbelakangi
oleh fenomena meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat dan
kasus-kasus dekadensi moral lainnya. Di kota- kota besar, fenomena
dekadensi moral yang melanda para remaja sudah sedemikian parahnya,
sehingga banyak pihak yang meminta agar lembaga pendidikan formal
sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda mampu meningkatkan
peranannya dalam pembentukan kepribadian dan karakter.
D. Bentuk-Bentuk Pendidikan Karakter
Ada beberapa bentuk pendidikan karakter yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik sejak dini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
A. Jujur
B. Disiplin
C. Percaya Diri
D. Peduli
E. Mandiri
F. Gigih
G. Tegas
H. Bertanggung Jawab
I. Kreatif
J. Bersikap Kritis
E. Tujuan Pendidikan Karakter
A. Versi Pemerintah
1. Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral
2. Membentuk Manusia Indonesia yang Cerdas dan Rasional
3. Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras
4. Membentu Manusia Indonesia yang Optimis dan Percaya Diri
5. Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa Patriot
B. Versi Pengamat
Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat
bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk masyarakat yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berto- leran, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar